Sumber; pexels.com |
Jakarta, Juni 2020
"Aku bertengkar lagi dengan pacarku, diblock lagi." sebuah pesan kukirim padanya yang selalu menjadi tujuan terakhir setiap kesedihan datang menimpaku.
"Ya bagus, block balik saja." Jawaban singkat
yang menurutku bukan solusi. Kuhela nafas sesaat, dan kubiarkan ponselku
terbaring di atas kasurku.
------
Surabaya, Oktober 2020
"Aku putus lagi." Lagi-lagi kukirimi dia seutas pesan
singkat.
"Ya bagus. Kamu tidak lagi terjebak dalam hubungan tidak
sehat itu." Lagi-lagi kuterima jawaban pesannya yang tidak memberiku
solusi, kupejamkan mataku untuk sesaat.
"Dika, ayo ketemu, temani aku nangis. Aku sedang di
sini." Kutengok jam dinding, masih pukul 19.00 WIB, belum terlalu malam
untuk keluar rumah.
"Aku sedang di luar kota, Minggu depan saja."
"Lain kali saja kalau gitu." Aku matikan ponsel dan mulai terbenam dalam tangis.
Dika, orang yang aku datangi hanya setiap aku susah dan sedih.
Setiap aku dalam kondisi yang baik-baik saja, baru jarang ingat dia.
Setelah bertahun-tahun hidup bersama orang tua, pekerjaan
mengharuskanku untuk menetap di kota ini selama dua tahun terakhir. Dan Dika
menjadi orang pertama yang menemaniku ketika aku mendaratkan kakiku di kota
ini.
------
Malang, Awal Desember 2020
"Sudahlah, tidak usah diingat-ingat lagi. Masih banyak ikan
di laut." komentar Dika setelah aku bercerita panjang lebar tentang
bagaimana berakhirnya hubunganku. Akhirnya aku bertemu dengan dia, setelah
berbulan-bulan mengurung diri.
Aku hanya tersenyum dan tidak membalas kata-katanya. Kususuri
langkah demi langkah alun-alun Malang, tempat kami bertemu malam itu.
"Jam segini Malang udah sepi ya. Beda sama Jakarta yang hidup
setiap waktu. Rasanya aku kesepian terus di sini. Tapi kalo untuk hari tua
nanti, lebih baik tinggal di Malang memang. Tenang dan sepi."
Alih-alih membalas perkataannya, aku lebih memilih mengomentari
kota tempat dia membawaku pergi malam ini, menghilang sejenak dari
hiruk-pikuknya Surabaya.
"Fisikmu di sini tapi hatimu di Jakarta. Jadi ya setiap saat
pasti terasa sepi, walaupun banyak orang lalu-lalang menemanimu."
Kuhentikan langkahku dan kutengok dia di sampingku yang juga
menghentikan langkahnya. Ada rasa yang tidak karuan saat bertatapan mata
dengannya. Walaupun sering bertemu dan beradu pandang, aku tidak pernah merasa
seperti ini.
“Dika, aku mulai jatuh hati. Tapi entah dengan perasaanmu.
------
Surabaya, Januari 2021
Semakin hari aku dan Dika semakin dekat. Setiap aku ingin melakukan sesuatu, pasti aku meminta dia menemaninya. Dia selalu bersedia setiap aku meminta ditemani kemanapun atau melakukan apapun.
Tidak pernah aku tidak menghubunginya, dalam sehari saja pasti aku menghubungi dia, entah itu hanya pesan singkat atau panggilan seluler. Dia yang tidak pernah marah, dan terganggu setiap aku menghubunginya. Meski kadang aku tahu dia jenuh setiap saat aku hubungi. Maka, aku mulai mengurangi intensitasku, namun tetap menjaga komunikasi.
Hari-hariku bersama Dika, membuat aku lupa akan rasa sakit yang diciptakan oleh masa laluku. Tidak pernah terlintas sedikitpun rasa rindu setelah ditinggalkan begitu saja oleh masa lalu. Dika sudah membuat pikiranku teralihkan sepenuhnya.
Dika tahu tentang perasaanku, namun aku tidak tahu sama sekali apa yang ada dalam hatinya. Bagiku saat itu tidak masalah, yang penting dia selalu bersamaku.
------
Surabaya, April 2021
Dika mulai menjauh. Setiap pesan yang aku kirimkan hanya dijawab singkat olehnya. Setiap aku minta ditemani entah itu kemana, dia selalu saja sibuk. Meski pada akhirnya aku memiliki kesempatan bertemu lagi dengan dia. Rasa rinduku memuncak saat melihatnya. Namun, aku tau ada sesuatu yang berbeda. Terasa sekali ada jarak di antara kita.
Dia seperti orang asing, kembali menjadi seseorang saat pertama kali aku mengenal dia. Saat kami masih hanya menjadi seseorang yang berkomunikasi secara formal dan terasa tidak pernah terjadi apa-apa antara kami.
------
Mei 2022
Setelah pertemuan terakhirku itu, aku sudah tidak berkomunikasi lagi dengan Dika. Untuk apa mengejar sesuatu yang memang sudah tidak ingin dikejar lagi. Tapi hatiku masih tetap memikirkannya, meskipun tidak lagi bersamanya.
Entah apa salahku padanya. Berkali-kali aku mencoba mencari tahu, namun tetap tak berhasil kutemukan. Namun, kali ini aku tahu jawabannya.
Dia datang kembali, dengan undangan di tangannya. Ternyata selama berbulan-bulan ini dia sibuk dengan dirinya sendiri dan persiapan akan hari bahagianya. Kata maaf keluar dari mulutnya. Aku memaafkan, tapi tidak melupakan.
“Terima kasih Dika, kamu yang menyembuhkan namun kamu juga yang kembali mematahkan.”